Liminalitas adalah ruang paradoks, frasa tersebut saya pilih untuk menggambarkan secara singkat apa yang saya pahami ketika membaca "Ritual Proses" dari Victor Turner (1987). Berbeda dari Clifford Geertz yang memposisikan simbol sebagai “wahana pemaknaan” atas “ worldview ” yang dianut oleh komunitas. Turner lebih memberlakukan simbolisme pada tataran proses sosial, yaitu bagaimana konflik dan ambiguitas bekerja dalam satu fase daur kehidupan yang harus dilalui kolektif budaya. Kehidupan dijalani oleh seluruh kolektif dalam tatanan struktur, anti struktur dan kembali lagi pada tatanan struktur budaya. Konsekuensi atas struktur budaya adalah terciptanya hirarki kelas. Masyarakat memiliki struktur yang dapat terbaca melalui simbolisme ritual. Untuk itu, Turner (1987) dalam bukunya, “ The Ritual Process: Structure and Anti-Structure ”, mengurai makna simbolis pada ritual masyarakat Ndembu di Afrika Tengah ketika mengalami kondisi ambiguitas keadaan yang tidak dapat diselesaikan
Saat di lapangan riset, saya selalu tertarik untuk membuat catatan mengenai kosa kata bahasa masyarakat setempat. Selain memang kebutuhan untuk sedapat mungkin membangun komunikasi dalam bahasa lokal agar mudah dalam menggali data, saya mempercayai bahwa "Cultural Thought" suatu komunitas dapat ditelusuri melalui bahasa yang digunakan. Pada salah satu bagian dari buku Re-thinking Psychological Anthropology karya Philip K. Bock (1980), tepatnya di bagian cognitive anthropology , diulas mengenai pentingnya “ethnosemantics” sebagai metode kajian linguistik pada masyarakat untuk memperoleh “ native system meaning ”. Etnosemantik mengkaji berbagai terminologi budaya yang terimpelentasi dalam kata atau bahasa masyarakat dan hal demikian dilakukan untuk memperoleh apa yang disebut sebagai pola “ cultural thought ”. Kembali pada penelitian lapangan saya mengenai kelompok masyarakat Dayak-Agabag, dalam kerangka interaksi, komunitas ini mengalami persinggungan linguistik yang dipenga