Saat di lapangan riset, saya selalu tertarik untuk membuat catatan mengenai kosa kata bahasa masyarakat setempat. Selain memang kebutuhan untuk sedapat mungkin membangun komunikasi dalam bahasa lokal agar mudah dalam menggali data, saya mempercayai bahwa "Cultural Thought" suatu komunitas dapat ditelusuri melalui bahasa yang digunakan.
Pada salah satu bagian dari buku Re-thinking Psychological Anthropology karya Philip K. Bock (1980), tepatnya di bagian cognitive anthropology, diulas mengenai pentingnya “ethnosemantics” sebagai metode kajian linguistik pada masyarakat untuk memperoleh “native system meaning”. Etnosemantik mengkaji berbagai terminologi budaya yang terimpelentasi dalam kata atau bahasa masyarakat dan hal demikian dilakukan untuk memperoleh apa yang disebut sebagai pola “cultural thought”.
Kembali pada penelitian lapangan saya mengenai kelompok masyarakat Dayak-Agabag, dalam kerangka interaksi, komunitas ini mengalami persinggungan linguistik yang dipengaruhi oleh bentang ekologi sungai sebagai relung tempat mereka tinggal dan hidup bersama dengan komunitas lainnya. Pada kenyataannya, sulit sekali untuk menentukan batas komunitas apabila hanya berpatok pada garis genealogi di sepanjang Sungai Sembakung mengingat penduduk telah melakukan aliansi perkawinan antar kampung sejak masa lalu.
Kata binulintung hampir diucapkan secara mirip oleh masyarakat di sepanjang Sungai Sembakung dan ternyata saya menemukan bahwa di dalamnya mengandung aspek-aspek “cultural thought”. Ketika melakukan penggalian informasi, secara tidak sengaja, saya menemukan cerita folklore yang berkaitan dengan binulintung. Cerita binulintung diketahui oleh seluruh lapisan usia dari komunitas di sepanjang sungai karena berkaitan dengan petaka banjir bandang besar yang diyakini pernah dialami oleh nenek moyang mereka pada suatu masa. Dalam kisah tersebut, binulintung atau pelangi yang menyelamatkan penduduk dari bencana air bah yang menyebabkan banjir bandang yang dikenal sebagai losob. Konon, masyarakat yang berhasil selamat adalah mereka yang berlari menyelamatkan diri ke arah kemunculan binulintung. Karena itu, sampai saat ini masyarakat sangat menghormati kemunculan binulintung yang mereka lihat ada di atas langit.
Langit dan binulintung menjadi material sangat dihormati oleh komunitas di sepanjang Sungai Sembakung. Penghormatan tersebut dapat dikategorikan dalam pola "cultural thought" dari komunitas di sepanjang sungai karena berkaitan dengan "native system meaning" sebagaimana yang telah dikatakan oleh Block (1980). Untuk bisa menguliti apa yang disebut sebagai "native system meaning", kita perlu mencari keterkaitan antara pola "cultural thought" dengan perilaku keseharian dari masyarakat.
Referensi:
Kembali pada penelitian lapangan saya mengenai kelompok masyarakat Dayak-Agabag, dalam kerangka interaksi, komunitas ini mengalami persinggungan linguistik yang dipengaruhi oleh bentang ekologi sungai sebagai relung tempat mereka tinggal dan hidup bersama dengan komunitas lainnya. Pada kenyataannya, sulit sekali untuk menentukan batas komunitas apabila hanya berpatok pada garis genealogi di sepanjang Sungai Sembakung mengingat penduduk telah melakukan aliansi perkawinan antar kampung sejak masa lalu.
Saat di lapangan, sembari melihat kumpulan kosa kata saat menelusuri tiap kampung di sepanjang Sungai Sembakung, saya melihat adanya spektrum dialek bahasa yang berbeda semakin ke perkampungan yang berada di hulu. Setelah kosa kata terkumpul, akhirnya saya menentukan sendiri pengelompokan kosa kata yang mirip atas kampung-kampung yang bemukim di wilayah hulu, tengah dan hilir. Sementara itu, belakangan, saya menemukan buku Kamus Bahasa Agabag: Dictionary (Yalis dkk) yang membuat perbedaan dialek langsung dikelompokan berdasarkan tiga sungai, yakni S. Sembakung, S. Tulid, dan S. Tikung. Menilik pada hasil penelusuran pada riset terdahulu, terdapat kata-kata yang sama sekali beda, namun tidak sedikit pengucapan yang hanya berbeda langgam saja. Seperti yang telah saya tabulasi dalam tabel di bawah ini (Hastuti, 2014: 41):
Kata binulintung hampir diucapkan secara mirip oleh masyarakat di sepanjang Sungai Sembakung dan ternyata saya menemukan bahwa di dalamnya mengandung aspek-aspek “cultural thought”. Ketika melakukan penggalian informasi, secara tidak sengaja, saya menemukan cerita folklore yang berkaitan dengan binulintung. Cerita binulintung diketahui oleh seluruh lapisan usia dari komunitas di sepanjang sungai karena berkaitan dengan petaka banjir bandang besar yang diyakini pernah dialami oleh nenek moyang mereka pada suatu masa. Dalam kisah tersebut, binulintung atau pelangi yang menyelamatkan penduduk dari bencana air bah yang menyebabkan banjir bandang yang dikenal sebagai losob. Konon, masyarakat yang berhasil selamat adalah mereka yang berlari menyelamatkan diri ke arah kemunculan binulintung. Karena itu, sampai saat ini masyarakat sangat menghormati kemunculan binulintung yang mereka lihat ada di atas langit.
Langit dan binulintung menjadi material sangat dihormati oleh komunitas di sepanjang Sungai Sembakung. Penghormatan tersebut dapat dikategorikan dalam pola "cultural thought" dari komunitas di sepanjang sungai karena berkaitan dengan "native system meaning" sebagaimana yang telah dikatakan oleh Block (1980). Untuk bisa menguliti apa yang disebut sebagai "native system meaning", kita perlu mencari keterkaitan antara pola "cultural thought" dengan perilaku keseharian dari masyarakat.
Satu hal yang tidak bisa saya lupakan ketika bertanya arah pada anak-anak dan penduduk lainnya terkait dengan penjelajahan beberapa tempat untuk kepentingan riset, mereka akan menunjuknya dengan mulut. Hal ini begitu menjadi perhatian bagi saya sejak awal yang tak terlepas dari pengaruh latar belakang budaya Jawa yang menilai perilaku menunjuk arah dengan mulut merupakan tindakan tidak sopan. Masyarakat di Jawa, lazimnya menunjuk arah dengan menggunakan ibu jari.
Apabila mengaitkannya pada riset terdahulu (Hastuti, 2014), saya jadi paham kalau menunjuk arah dengan tangan dan itu ke arah atas, merupakan pola perilaku yang bagi masyarakat setempat memiliki makna tidak menghargai binulintung. Kira-kira begitu yang saya pahami mengenai bagaimana pola "cultural thought" masyarakat di sepanjang Sungai Sembakung menghargai leluhur dan alam yang telah menyelamatkannya.
Referensi:
Bock, Philip K. (1980). Rethinking Psychological Anthropology: Continuity and Change in the Study of Human Action. New York: W. H. Freeman and Company.
Hastuti, Puji. (2014). Ritus Pertukaran di Hulu Sembakung: Kajian mengenai Batas Sosial Orang di Perbatasan Negara. Skripsi Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.
Yalis, dkk. (XXXX). Kamus Bahasa Agabag: Dictiorany. Kerjasama FORMACS Project, Care Indonesia, Canadian International Development Agency (CIDA), Yayasan Selamatkan Teluk Balikpapan.
Komentar
Posting Komentar