Ini dia pengalaman pertama saya ke luar negeri. Tanpa paspor ataupun tiket pesawat terbang. Begitu mudahnya untuk keluar dari perbatasan Indonesia di Desa Ajikuning. Hanya tinggal melewati patok 3 yang tingginya mungkin hanya satu sentimeter. Saya pun sampai di Malaysia. Tapi, ko gak ada bedanya? Sebab, disebrang yang tinggal itu juga orang Indonesia. Berikut jurnal perjalanan saya pada hari Selasa, 19 Juni 2012....
Perjalanan mengunjungi Ibu RT 2 Negara ..
Ketua
RT 02, Desa Ajikuning, Sebatik Tengah bernama Hana. Ia merupakan seorang perempuan perantauan yang
bersal dari Sulawesi . Tepatnya daerah pinrang. Suami Ibu Hana juga berasal dari Sulawesi
yakni bone. Sebelum sampai tempat ini, ia pernah merantau di Malaysia, tepatnya
di Tawau selama 13 tahun. Ia memilih untuk pergi merantau sebab melihat
orang-orang yang pergi merantau semuanya berhasil. “Mereka pulang berjaya semua. Banyak barang yang dibawa. Begitulah
merantau. Ya begini kerjanya. Habis dikampung tidak ada kerja. Hanya bersawah
saja”, ujar Ibu Hana. Kemampuannya yang dianggap mampu dan sigap untuk
mengurusi warga membuat dirinya ditunjuk untuk menjadi Ketua RT 02. Begitulah
kira-kira informasi singkat yang saya terima dari salah seorang
warga RT 02. Rumah Ibu Hana sendiri berada di wilayah Malaysia. Sebuah kondisi
yang unik, seorang aparat pemerintah Indonesia justru bermukim di wilayah
Malaysia. Rumah Ibu Hana di sebrang sungai melewati patok 3, sebuah patok yang
menjadi batas negara. Tapi inilah kenyataan. Malaysia pun tidak terlalu
merisaukan kehadiran warga Indonesia yang bermukim di wilayahnya. Sebab,
wilayah tersebut tidak juga terlampau disentuh oleh Malaysia.
Saya dan Ibu Hana |
Patok 3 |
RT
02 memiliki jumlah penduduk sebesar 55 Kepala Keluarga (KK). Ada delapan rumah
yang berada di sebrang sungai. Kedelapan rumah ini termasuk rumah Ibu Hana
selaku ketua RT, tidak memiliki nomor rumah. Namun, kedelapan rumah ini masuk
ke dalam sensus penduduk. Walaupun masuk wilayah Malaysia, tidak terlampau
sering dilakukan patrol penjagaan patok oleh Askar Malaysia (tentara Malaysia).
Hanya saja pada waktu gejolak ambalat Askar Malaysia melakukan patroli. Itupun
hanya sekali.
Ibu
Hana mendapatkan rumah yang kini ia tinggali dengan cara membayar dari warga sebesar
Rp1.000.000,-. Uang tersebut semacam uang pergantian untuk pembangunan rumah. Ibu Hana memiliki kewajiban untuk membayar sewa tanah per-tahun
kepada Malaysia. Besar biaya sewa kira-kira 150 ringgit/bulan atau sebesar
Rp450.000,-/bulan.
Menurut Ibu Hana,
kepengurusan KTP bagi warga RT. 02 tidaklah terlampau sulit. Kesulitan yang
sering dialami oleh warga adalah saat kepengurusan akte kelahiran. Sering kali
pelaporan kelahiran bayi ke Capil di Nunukan terlambat. Terlewat dari tiga
bulan maka harus dibawa ke persidangan. Persidangan dilakukan juga dengan saksi
sebanyak dua orang. Materai 6.000 juga harus disiapkan sebanyak 10 lembar. Sang
pelapor harus menunggu pelaksanaan sidang selama tiga hari. Pelaporan terlambat
dikenai biaya sebesar Rp1.000.000,-. Ini jelas sangatlah menyulitkan warga.
Akte kelahiran sendiri merupakan dokumen yang penting bagi anak-anak terkait
sebagai prasyarat untuk masuk sekolah. Memang pernah ada kepengurusan akte
kelahiran secara masal. Warga pernah diminta untuk melengkapi semua berkas yang
dibutuhkan. Namun, berkas-berkas tersebut hanyalah menumpuk di Capil dan
masyarakat hingga kini belum mendapatkan akte kelahiran tersebut. Kepengurusan
akte kelahiran memang sangat sulit. Jika ingin mengganti satu huruf nama dalam
akte kelahiran akibat kesalahan cetak, itupun harus melalui persidangan. Hal
ini pernah terjadi pada warga dari Ibu Hana. Nama di ijasahnya TK nya Jumarni.
Aktenya yang baru saja jadi menjadi Sumarni. Ia pun ingin mengganti satu hurf S
menjadi J. Itu pun harus melalui pengadilan dengan biaya Rp1.000.000,-. Inilah
yang sering kali dikeluhkan oleh masyarakat. Capil berada di Nunukan. Jarak
tempuh yang jauh dan biaya yang cukup mahal haruslah disiapkan jika ingin
mendapatkan akte kelahiran.
Suami
Ibu Hana sendiri merupakan seorang nelayan di Malaysia. Suaminya bekerja di
kapal orang Malaysia. Menurut suaminya, mencari ikan di laut Malaysia lebih
aman dibandingkan jika mencari ikan ke Tarakan. Sebab jika ke Tarakan akan
banyak perompak yang menghadang.
Saat
permasalahan dengan Malaysia tentang blok ambalat muncul, ada isu bahwa Indonesia
ingin mempermasalahkan patok perbatasan di wilayah Ajikuning. Dalam satu hari,
bisa ada sepuluh kunjung dari pusat ke wilayah ini. Tidak tanggung-tangguh,
kunjungan tersebut adalah para “jendral berbintang”, begitulah ungkapan dari
Ibu Hana. Seorang jendral datang ke tempat ini dan membawa peta. Jendral
tersebut berkata bahwa patok tiga ini seharusnya diletakan lebih jauh berada
bukit. Jika hal ini terjadi, maka wilayah yang ditempati oleh Ibu Hana akan
masuk ke wilayah Indonesia. Ibu Hana nantinya tidak harus lagi membayar sewa
kepada Malaysia. Namun, hal ini tidaklah terjadi sampai sekarang dan isu
tersebut perlahan menghilang.
Menurut
Ibu Hana, banyak orang membuat KTP di Desa Ajikuning karena ingin berangkat
naik haji dari Indonesia. Namun sekarang peraturan telah ketat. Orang tersebut
haruslah menetap selama satu tahun di Indonesia baru bisa memiliki KTP dan
berangkat naik haji di lima tahun kemudian. Permasalahan juga terjadi saat musim pemilihan baik itu
bupati, gubernur, maupun pemilihan umum, banyak sekali berbondong-bondong
kepengurusan KTP itu dilakukan. Ini merupakan bagian dari strategi kampanye
dari masing-masing calon. Banyak warga dari Malaysia juga ikut dalam
kepengurusan KTP tersebut. Namun pada waktu pemilihan, banyak orang yang terdaftar
dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) tidak berada ditempat sebab pergi merantau ke
Malaysia.
Sungai di Desa Ajikuning merupakan salah satu jalur untuk
mencapai Tawau. Jika air pasang, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit saja.
Waktu air pasang adalah pukul 01.00 sampai 03.00 WIT. Pada waktu inilah banyak
perahu yang keluar dengan membawa hasil panen dari masyarakat Indonesia.
Melalui jalur inilah banyak warga yang keluar untuk menjual hasil panennya ke
Tawau seperti pisang, jambu, cabai, serta bawang merah. Pulangnya, warga tidak
jarang membawa barang-barang sembako. Sehingga jalur sungai ini merupakan
tempat keluar masuk barang.
Ibu Hana berpendapat
bahwa lebih enak kehidupan di Sebatik dibanding dengan kehidupan di Sulawesi.
Barang-barang kebutuhan terbeli olehnya, tidak seperti di Sulawesi yang serba
sulit sebab tidak tersedia cukup lapangan kerja di Sulawesi. Ditambah lagi
ditempat ini menggunakan dua mata uang. Ini membuat banyak masyarakat di tempat
ini menjadi senang. Menurut Ibu Hana, jika berbelanja di Sebatik lebih baik
menggunakan uang ringgit ketimbang rupiah. Sebab, uang rupiah dirasa akan cepat
habis. Jika membawa uang Rp50.000,- ke pasar, akan sangat cepat habis.
Lagipula, jika berbelanja dengan rupiah harga selalu digenapkan. Baginya, uang
rupiah lebih baik disimpan saja untuk dibawa ke Sulawesi.
Saat ditanya lebih enak
hidup di Malaysia dibandingkan di Indonesia, Ibu Hana menjawab, “Sebenarnya hidup di Malaysia enak karena
ada kerja. Seperti anak-anak disini. Setelah lulus sekolah, mau kuliah tidak
ada uang. Mau kerja tidak ada lowongan (red. di Indonesia). Kalau di Malaysia
janji mau kerja gaji 300 (red. ringgit) ada sudah… Kerja-kerja angkat barang
kah, mau kerja di restoran kah, di toko-toko runcit kah…Kalau di Indonesia,
biar anak-anak di sini mau kerja tidak ada lowongan”. Ketiadaan lapangan
kerja di Indonesia membuat banyak orang-orang di Sebatik, pergi merantu ke
Malaysia.
Saat itu Ibu Hana
pernah merantau ke Malaysia kerja di perusahaan kayu balak. Gajinya mencapai
Rp10.000.000,-/bulan. Ia bekerja selama tujuh bulan di perusahaan itu. Namun,
ia diminta berhenti oleh suaminya.
Menurut Ibu Hana,
hampir 25% penduduk di sini memiliki IC.
Bahkan juga ada anggota dewan yang memiliki IC.
Kepemilikan IC ini jelas sangat
mempermudah kehidupan terutama dalam kegiatan perekonomian. Dengan memiliki IC, seseorang akan tenang untuk masuk
dan bekerja di Malaysia.
Jika menjelang hari
raya, banyak masyarakat Indonesia yang pergi ke Tawau untuk membeli
barang-barang kebutuhan. Kue-kue lebaran pun dibeli dari Tawau. Pakaian-pakaian
serta sandal juga dibeli dari sana. Peralatan rumah dan elektronik juga
didapatkan dari Malaysia. Sumber air bersih masyarakat RT 02 adalah dari air
hujan. Jika tidak turun-turun hujan, maka air pun dibeli dari Tawau per-geleng,
yakni 25 liter dengan harga Rp40.000,-. Di wilayah ini sebenarnya ada sumur,
namun letaknya sangat jauh sampai menaiki dan menuruni bukit. Alhasil, masyarakat lebih memilih untuk membelinya dari Malaysia.
Sepulang dari rumah Ibu Hana, ada sebuah kapal yang akan menuju Tawau. Kata sang operator kapal, perjalanan ke Tawau hanya memakan waktu 20 menit. Sebenarnya, ada banget pikiran pengen kabur sebentar kesana. Tring-tring-tring... Tapi sayang, belum punya paspor. Nanti bisa di rajam dua kali. Yang pertama sama Askar Malaysia, yang kedua sama Pak Sugianto (TNI, bapak tim peneliti sosbud). Hehehe
Komentar
Posting Komentar