Langsung ke konten utama

Genosida Ras Yahudi di Polandia: Resensi Film The Pianist dan Schindler’s List

Genosida membawa aspek-aspek modernitas dalam alur pelaksanaannya. Genosida pada ras yahudi sendiri merupakan titik puncak kebijakan Nazi dibawah pemerintahan Hitler. Hitler menganggap bahwa Yahudi bukan merupakan agama. Tapi ia adalah ras. Ia menganggap bahwa ras Yahudi merupakan ras yang berbahaya dimana pun ia berada. Mereka adalah pembawa penyakit. Mereka merupakan ras yang harus dimusnahkan. Munculah kebijakan anti-Yahudi, pemboikotan, aryanisasi, serta gerakan lainya yang pada akhirnya mengarah pada pemusnahan ras yahudi. Dalam buku yang berjudul Hitler’s War yang ditulis oleh David Irving, Hitler mengatakan bahwa “ras Yahudi terlahir sebagai penghancur, sama sekali bukan pemimpin; mereka tak memiliki budaya, seni, juga arsitektur sendiri sedangkan ekspresi yang paling diakui dalam masyarakat adalah budaya.Ras Yahudi tidak memiliki budaya apapun. Mereka hanya mesin hitung. Itu yang menjelaskan mengapa hanya orang Yahudi yang bisa menciptakan Marxisme, yang meniadakan dan menghancurkan dasar dari segala kebudayaan. Beserta Marxisme, orang-orang Yahudi berharap menciptakan suatu massa rakyat jelata yang bodoh dan kasar tanpa adanya kecerdasan murni, sebuah instrument tolol dalam genggaman mereka” .
Film The Pianist serta Schindler’s List merupakan sebuah film yang berisi tentang genosida oleh partai Nazi terhadap bangsa Yahudi di Polandia. Tokoh prontagonis utama dalam film The Pianist adalah Szpilman. Ia merupakan seorang pianis. Ia di Radio Warsawa. Sebelum Nazi mulai menguasai wilayah tempat ia tinggal, ia bersama keluarganya mendiami sebuah apartemen mewah di pusat Warsaw. Namun, suatu ketika, saat ia bermain piano, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat hebat. 1939 Nazi telah menyerang kota Warsaw.
Film Schindler’s List merupakan sebuah film yang bercerita tentang Oskar Schindler yang merupakan seorang pengusahan dari Jerman. Ia adalah seorang pengusaha yang gagal di Jerman dan memutuskan untuk pindah ke Kraków, sebuah ghetto di Polandia. Ia memanfaatkan para pekerja paksa Yahudi Polandia untuk melancarkan bisnisnya. Ia merekrut seorang yang berketurunan Yahudi Polandia untuk membantu bisnisnya.
Baik film The Pianist maupun Schindler’s List menampilkan adanya pembatasan ras Yahudi di ruang publik. Pada film The Pianist ada sebuah adegan saat Szpilman ingin mengajak Dorota untuk bersantai di sebuah kafe, ternyata ada larangan Yahudi tidak boleh memasuki tempat tersebut. Sebagai seorang Yahudi, Szpilman pun tidak diperkenankan untuk masuk ke tempat tersebut. Pada bagian awal film Schindler’s List terlihat ribuan ras Yahudi yang menyebutkan nama seraya mengantri untuk mendaftar diri. Mereka dipindahkan ke ghetto krakow.
Untuk membedakan Yahudi dan non-Yahudi di Polandia, kebijakan pun diturunkan. Semua Yahudi Polandia diwajibkan untuk memakai emblem yang bergambarkan lambang Yahudi di lengan sebelah kanan. Dengan adanya hal ini, semakin mudah para tentara Jerman mengidentifikasi ras Yahudi Polandia. Ras Yahudi Polandia semakin mendapatkan diskriminasi. Film The Pianist menampilkan adegan saat seorang Yahudi Polandia bertemu dengan dua orang tentara Jerman di jalanan. Yahudi Polandia menundukan kepala. Tentara Jerman tidak suka dengan hal ini. Kemudian dengan seenaknya, tentara Jerman memukul orang Yahudi Polandia dan tidak mengijinkannya berjalan di trotoar.
Social disorder mulai menyeruak ketika pada 31 Oktober 1940 Adanya kebijakan memindahkan ras Yahudi ke ghetto-ghetto, yakni sebuah tempat untuk mengisolasi ras Yahudi Polandia. Tempat ini begitu kecil, hingga membuat ras Yahudi Polandia harus hidup berdesak-desakan. Ras Yahudi Polandia dideportasi ke ghetto-ghetto ini di mana mereka hidup dalam kondisi berdesak-desakan dan kotor serta kekurangan makanan. Disinilah proses de-humanisasi terjadi. Ras Yahudi ibarat binatang. Pada adegan film The Pianist, ras Yahudi Polandia dikumpulkan dalam ghetto-ghetto yang sangat jauh dari kata layak. Ras Yahudi Polandia selalu dihantui rasa ketakutan. Kapan saja tentara Jerman dapat datang ke ghetto dan melakukan penyiksaan terhadap mereka. Proses de-humanisasi ras Yahudi tampak jelas difilm ini. Seorang pria kelaparan menjilati air kotor tumpah dari trotoar karena ia sangat kehausan. Seorang perempuan menangis karena bayinya meninggal. Ironisnya bayinya meninggal karena ia sendiri yang mencekiknya. Anaknya terus menangis sedangkan pada saat itu ada tentara Nazi. Yahudi. Ras Yahudi ibarat binatang yang tanpa ada rasa peri kemanusiaan dipukuli serta ditembak. Serta sering kali terlihat banyak mayat-mayat bergelimpangan di jalanan. Hal ini telah menjadi biasa bagi ras Yahudi Polandia. Hal ini memaparkan bahwa proses de-humanisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Nazi telah membuat menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan dari ras Yahudi sendiri.
Adegan pada film Schindler’s List pun menggambarkan perlakuan semena-mena dari tentara Jerman terhadap ras Yahudi. Mereka menertawakan serta memotong rambut salah seorang ras Yahudi di Jalan. Tentara Jerman membuat klasifikasi ras Yahudi yang esensial dan non-esensial. Non-esensial merupakan ras Yahudi yang umumnya berprofesi sebagai guru dan musisi. Mereka dianggap tidak memberikan sumbangsih apa-apa terhadap perang. Kemudian merekan dibawa oleh kereta menuju sebuah tempat yang tidak diketahui letaknya dimana. Mereka lenyap.
Adegan-adegan pada kedua film ini menggambarkan bahwa ras Yahudi di Polandia tidak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri. Tubuh bangsa Yahudi pada konteks persoalan ini telah dikuasai oleh discourse kekuasaan dominan, yakni rezim Hitler. Hal ini sejalan dengan pemikirian Scheper-Hughes dan Lock dalam artikel The Mindful Body: A Proglegomenon to Future Work in Medical Anthropology, “The body politic under threat of attack is cast as vulnerable, leading to purges of traitors and social deviants, while individual hygine may focus on the maintenance of ritual purity or on fears of losing blood, semen, tears, or milk ”.
Tubuh orang yahudi merupakan tubuh yang dikuasai oleh politik yang dominan pada saat itu yakni Partai Nazi. Mereka merupakan ras marjinal yang rapuh. Terkait dengan obsesi pemurnian ras yang merupakan obsesi dari Hitler maka para ras cacat mental serta segala macam yang dianggap deviasi sosial harus dibumi hanguskan, terutama pada golongan Yahudi. Terlihat pada adegan di film The Pianist saat tentara Jerman datang secara tiba-tiba ke salah satu rumah di ghetto. Ia menyuruh semua orang Yahudi Polandia yang duduk di meja untuk berdiri. Namun, ada satu orang lelaki tua Yahudi Polandia yang tidak bisa berdiri karena ia lumpuh. Kemudian ia dilempar ke luar jendela dari lantai tiga. Hal ini juga ditampilkan pada adegan pada film Schindler’s List. Tentara Jerman memiliki otoritas untuk menembak seorang perempuan yang mengaku Arsitek dari sebuah universitas namun ia tidak memuaskan dalam bekerja. Para tentara Jerman dengan semena-mena menelanjangi ras Yahudi terkait dengan pemeriksaan kesehatan mereka. Baik pria maupun perempuan, tua maupun muda diperlakukan bagai binatang saat diperiksa.
Pada adegan film The Pianist Tentara Jerman mengajak sebagian dari ras Yahudi Polandia untuk turut menjadi tentara. Mereka bertugas untuk membantu tentara Jerman untuk menertibkan ras Yahudi Polandia di ghetto. Terkadang mereka tentara dari ras Yahudi Polandia juga menyiksa ras Yahudi Polandia. Padahal mereka merupakan satu bangsa. Namun, rasa-rasa persaudaraan itu telah mengalami degradasi bahkan telah hilang. Mereka juga ikut menyiksa ras yang sebenarnya merupakan saudara mereka sendiri.
Pada salah satu adegan film Schindler’s List terjadi tarik menarik anak. Para tentara Jerman ingin memisahkan anak dengan dekapan sang ibu. Hal ini merupakan salah satu mekanisme dari tentara Jerman untuk menghancurkan ras Yahudi. Anak-anak dipisahkan dari dekapan ibunya agar putus semua sosialisasi nilai-nilai Yahudi dari sang orang tua yang dianggap buruk oleh Hitler.
Pada film The Pianist Szpilman diselamatkan oleh salah seorang orang Yahudi yang menjadi tentara. Ia tidak ikut naik dalam kereta. Szpilman pun tetap berada di ghetto. Ia pun akhirnya menjadi buruh. Szpilman menjadi pekerja pada bisnis kentang dan kacang. Namun, didalam kacang dan kentang diselundupkan senjata-senjata. Szpilman pun menyembunyikan senjata-senjata ini. Szpilman keluar dari ghetto, dengan bantuan dari kelompok perlawanan dan seorang kenalan lamanya, seorang penyanyi dan suaminya. Mereka mengatur kehidupan dari Szpilman. Mereka memberi tenpat tinggal pada Szpilman di sebuah apartemen kosong. Sebagai ras Yahudi Polandia, ia tidak bisa hidup bebas. Ia tidak bisa keluar untuk mencari makanan sendiri. Ia hanya bisa menunggu ada seseorang mengantarkan makanan. Hingga teman lamanya tidak lagi bisa mengantarkan makanan padanya. Szpilman akhirnya kembali ke ghetto. Ghetto telah berubah menjadi puing-puing. Dengan berjalan terpincang-pincang Szpilman masuk ke dalam rumah untuk mencari makanan. Namun, ia tidak menemukannya. Szpilman hampir mati kelaparan. Namun, seorang petugas Jerman menemukanya. Petugas itu ternyata suka dengan cara bermain music Szpilman. Ia kemudian membantu Szpilman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada bagian akhir film Schindler’s List, Schindler mengubah orientasi bisnisnya yang amat berhubungan dengan uang menjadi kegiatan untuk menyelamatkan para ras Yahudi yang menjadi pekerjanya. Agar mendapat dukungan dari pihak militer Jerman, Schindler memberikan sejumlah uang sebagai imbalan.
Film The Pianist dan film Schindler’s List sama-sama menampilkan sebuah mekanisme dari kerja genosida, namun mungkin lebih terlihat jelas pada film Schindler’s List. Genosida tidak muncul dalam vakum. Selalu ada pergerakan-pergerakan didalamnya. Saya melihat genocida diwarnai oleh aksi-aksi para kapitalis. Para kapitalis Jerman membangun relasi subordinat dengan ras Yahudi Polandia yang berbasiskan ekonomi (economic base). Relasi itu pula yang dibangun oleh para kapitalis dengan para militer Jerman. Semua adegan-adegan sesungguhnya menampilkan dunia kapitallisme pada masa Hitler. Semua itu memaparkan bagaimana relasi yang berdasarkan economic base itu bekerja dalam pemerintahan pada rezim Nazi.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibu RT Dua Negara

Ini dia pengalaman pertama saya ke luar negeri. Tanpa paspor ataupun tiket pesawat terbang. Begitu mudahnya untuk keluar dari perbatasan Indonesia di Desa Ajikuning. Hanya tinggal melewati patok 3 yang tingginya mungkin hanya satu sentimeter. Saya pun sampai di Malaysia. Tapi, ko gak ada bedanya? Sebab, disebrang yang tinggal itu juga orang Indonesia. Berikut jurnal perjalanan saya pada hari Selasa, 19 Juni 2012.... Perjalanan mengunjungi Ibu RT 2 Negara ..   Ketua RT 02, Desa Ajikuning, Sebatik Tengah bernama Hana. Ia merupakan seorang perempuan perantauan yang bersal dari Sulawesi . Tepatnya daerah pinrang. Suami Ibu Hana juga berasal dari Sulawesi yakni bone. Sebelum sampai tempat ini, ia pernah merantau di Malaysia, tepatnya di Tawau selama 13 tahun. Ia memilih untuk pergi merantau sebab melihat orang-orang yang pergi merantau semuanya berhasil. “ Mereka pulang berjaya semua. Banyak barang yang dibawa. Begitulah merantau. Ya begini kerjanya. Habis dikampung tidak ada k

Paradigma Simbolik Turner, Liminalitas, dan Menjadi Manusia Radikal Bebas

Liminalitas adalah ruang paradoks, frasa tersebut saya pilih untuk menggambarkan secara singkat apa yang saya pahami ketika membaca "Ritual Proses" dari Victor Turner (1987). Berbeda dari Clifford Geertz yang memposisikan simbol sebagai “wahana pemaknaan” atas “ worldview ” yang dianut oleh komunitas. Turner lebih memberlakukan simbolisme pada tataran proses sosial, yaitu bagaimana konflik dan ambiguitas bekerja dalam satu fase daur kehidupan yang harus dilalui kolektif budaya. Kehidupan dijalani oleh seluruh kolektif dalam tatanan struktur, anti struktur dan kembali lagi pada tatanan struktur budaya. Konsekuensi atas struktur budaya adalah terciptanya hirarki kelas. Masyarakat memiliki struktur yang dapat terbaca melalui simbolisme ritual. Untuk itu, Turner (1987) dalam bukunya, “ The Ritual Process: Structure and Anti-Structure ”, mengurai makna simbolis pada ritual masyarakat Ndembu di Afrika Tengah ketika mengalami kondisi ambiguitas keadaan yang tidak dapat diselesaikan