Langsung ke konten utama

Paradigma Simbolik Turner, Liminalitas, dan Menjadi Manusia Radikal Bebas

Liminalitas adalah ruang paradoks, frasa tersebut saya pilih untuk menggambarkan secara singkat apa yang saya pahami ketika membaca "Ritual Proses" dari Victor Turner (1987). Berbeda dari Clifford Geertz yang memposisikan simbol sebagai “wahana pemaknaan” atas “worldview” yang dianut oleh komunitas. Turner lebih memberlakukan simbolisme pada tataran proses sosial, yaitu bagaimana konflik dan ambiguitas bekerja dalam satu fase daur kehidupan yang harus dilalui kolektif budaya. Kehidupan dijalani oleh seluruh kolektif dalam tatanan struktur, anti struktur dan kembali lagi pada tatanan struktur budaya. Konsekuensi atas struktur budaya adalah terciptanya hirarki kelas.

Masyarakat memiliki struktur yang dapat terbaca melalui simbolisme ritual. Untuk itu, Turner (1987) dalam bukunya, “The Ritual Process: Structure and Anti-Structure”, mengurai makna simbolis pada ritual masyarakat Ndembu di Afrika Tengah ketika mengalami kondisi ambiguitas keadaan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengaturan budaya. Kondisi ambiguitas salah satunya dialami ketika perempuan Ndembu memiliki permasalahan fertilitas. Struktur pengaturan budaya masyarakat Ndembu akan terganggu akibat tidak adanya keturunan penerus klan. Oleh karena itu dilakukan ritual Isoma sebagai ruang limial atas kekacauan struktur oleh sebab ketetapan takdir biologis yang sifatnya arbitrer (manasuka). Sama seperti peristiwa kelahiran anak kembar, ritual bersifat liminal, Wubwang’u harus dijalankan agar supaya paradoks kelahiran anak kembar yang mengganggu aturan struktur kekerabatan, keterbatasan sumber daya ekologis, dan kemampuan fisiologis sang ibu untuk dapat merawat dan membesarkan kedua anaknya mendapati penyelesaiannya secara komunal. 

“Liminalitas” adalah fase untuk meninggalkan aturan dan menghancurkan tatanan hirarki yang sedang berlangsung. Selepas melampaui fase ini, akan tercipta hirarki baru dalam tatanan yang mereplikasi struktur terdahulu. Mencoba melakukan abstraksi atas kerangka berfikir “ritual liminalitas”, membuat saya memahami individu-individu dalam melalui fase ambiguitas anti-struktur adalah radikal bebas. Apabila memakai cara pandang Levi-Strauss dalam membaca kehidupan yang selalu mempertentangkan dua hal dalam oposisi-biner, maka harusnya liminalitas anti-struktur dipandang sebagai “common-law” yang kehadirannya dalam mempertentangkan struktur justru memiliki makna “korespondensi (keterhubungan). Oleh karena itu, individu-individu radikal bebas yang berada pada fase liminal menempati fungsinya sebagai simbolisme kontinuitas kehidupan ketika stuktur budaya menjadi tidak kompatibel, akibat persoalan hirarki aturan yang tidak ada penyelesaiannya.

Ide “Ritual proses” dari Victor Turner menampilkan kondisi kepengaturan yang terjadi dunia ini. Struktur akan mendapati guncangan ketika terdapat individu-individu anti-struktur merasa tidak kompatibel atas kepengaturan yang diciptakan oleh kelompok penguasa. Individu-individu akan menjadi radikal bebas sebagai akibat atas kegagalan struktur mengikat dan memposisikan mereka dalam hirarki. Jika begitu, beranjak dari fase liminal untuk melangkah pada fase tatanan struktur baru sama saja kembali mundur dan ikut mereplikasi hirarki yang dipertentangkannya sebelumnya. Karena itu, melihat ritual liminalitas sebagai “sebuah proses” memiliki konsekuensi pengulangan dan pelanggengan hirarki struktur dalam rumusan yang sama tapi aktor berbeda. Individu-individu anti-struktur yang telah memperoleh konsensus atas berbagai ambiguitas yang dihadapinya menciptakan tatatan baru, membentuk kolektif, dan akhirnya mereplikasi “common law” hirarki struktur penguasa terdahulu. 

Liminalitas merupakan ruang korespondensi dalam tatanan kehidupan manusia, alam, dan pencipta semesta. Jikalau merunut logika berfikir Victor Turner, individu anti-struktur tentu akan berupaya melanggengkan konflik dalam ruang liminal yang diciptakannya sendiri. Karena itu, manusia radikal bebas tidak akan pernah takut untuk terus berada dalam anti-struktur dalam upayanya menciptakan “chaos” tak berkesudahan. Mereka akan menjauhi peran untuk ikut serta dalam tatanan hirarki. Karena itu menjadi paradoks, apabila manusia-manusia yang tadinya menghidari kooptasi penguasa justru malah membentuk kelompok yang menciptakan struktur kekuasaan baik dalam bentuk baru maupun tandingannya. Sayangnya memang kebanyakan manusia tidak pernah mengharapkan menjadi anti-struktur, selalu mendambakan chaos cepat berakhir, dan kembalinya dunia ini dalam struktur yang menyamankan posisi mereka. Akhirnya, mereka sendiri terjebak pada kesia-siaan hakiki untuk menjalani hidup yang mereplikasi siklus.

            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibu RT Dua Negara

Ini dia pengalaman pertama saya ke luar negeri. Tanpa paspor ataupun tiket pesawat terbang. Begitu mudahnya untuk keluar dari perbatasan Indonesia di Desa Ajikuning. Hanya tinggal melewati patok 3 yang tingginya mungkin hanya satu sentimeter. Saya pun sampai di Malaysia. Tapi, ko gak ada bedanya? Sebab, disebrang yang tinggal itu juga orang Indonesia. Berikut jurnal perjalanan saya pada hari Selasa, 19 Juni 2012.... Perjalanan mengunjungi Ibu RT 2 Negara ..   Ketua RT 02, Desa Ajikuning, Sebatik Tengah bernama Hana. Ia merupakan seorang perempuan perantauan yang bersal dari Sulawesi . Tepatnya daerah pinrang. Suami Ibu Hana juga berasal dari Sulawesi yakni bone. Sebelum sampai tempat ini, ia pernah merantau di Malaysia, tepatnya di Tawau selama 13 tahun. Ia memilih untuk pergi merantau sebab melihat orang-orang yang pergi merantau semuanya berhasil. “ Mereka pulang berjaya semua. Banyak barang yang dibawa. Begitulah merantau. Ya begini kerjanya. Habis dikampung tidak ada k

Genosida Ras Yahudi di Polandia: Resensi Film The Pianist dan Schindler’s List

Genosida membawa aspek-aspek modernitas dalam alur pelaksanaannya. Genosida pada ras yahudi sendiri merupakan titik puncak kebijakan Nazi dibawah pemerintahan Hitler. Hitler menganggap bahwa Yahudi bukan merupakan agama. Tapi ia adalah ras. Ia menganggap bahwa ras Yahudi merupakan ras yang berbahaya dimana pun ia berada. Mereka adalah pembawa penyakit. Mereka merupakan ras yang harus dimusnahkan. Munculah kebijakan anti-Yahudi, pemboikotan, aryanisasi, serta gerakan lainya yang pada akhirnya mengarah pada pemusnahan ras yahudi. Dalam buku yang berjudul Hitler’s War yang ditulis oleh David Irving, Hitler mengatakan bahwa “ras Yahudi terlahir sebagai penghancur, sama sekali bukan pemimpin; mereka tak memiliki budaya, seni, juga arsitektur sendiri sedangkan ekspresi yang paling diakui dalam masyarakat adalah budaya.Ras Yahudi tidak memiliki budaya apapun. Mereka hanya mesin hitung. Itu yang menjelaskan mengapa hanya orang Yahudi yang bisa menciptakan Marxisme, yang meniadakan dan meng