Langsung ke konten utama

Pentingnya Pendokumentasi Musik Indie Jakarta ke dalam Media Buku

Di hari ekstra pada tahun kabisat sabtu lalu, saya datang ke sebuah acara yang diberi judul "Peluncuran buku, Musik Jakarta Vol.01" di Kinosaurus/Aksara Kemang, Jakarta Selatan. Diawali oleh rasa penasaran atas judul buku tersebut, dan juga tema diskusi yang akan berbicara soal dokumentasi musik untuk cerita masa depan.

Konon katanya, musik berkisah mengenai apa yang terjadi pada masyarakat dalam satu kurun waktu. Jikalau begitu, mungkin fenomena "gimmick-gimmick musik indie" yang ramai pada kanal twitter beberapa waktu belakangan ini dapat menjawab apa yang sesungguhnya terjadi pada salah satu segmen populasi di Jakarta (dan sekitarnya). Sambil saya juga menerka-nerka, apakah "gimmick-gimmick musik indie" bisa jadi bonus atau malah petaka demografi (?).

Singkat cerita, sore itu, saya datang buru-buru, agar tepat waktu karena tidak mau ketinggalan dikusi. Akan tetapi, acara telat dimulai. Hampir juga saya ketinggalan akibat salah tempat menunggu, karena ternyata diskusi dimulai di ruang Kinosaurus, sementara saya menunggu ruang depan, tempat para penampil pertunjukan musik yang ikut meramaikan acara ini. Untunglah, Felix Dass mengumumkan bahwa acara diskusi akan dilangsungkan di ruangan Kinosaurus. Saya ngeh! Kemudian bergegas pindah. Ternyata ruangan sudah ramai. Tapi Aha! Itu ada sisa kursi, di depan.


Diskusi ini tentunya melibatkan Felix Dass dan John Navid selaku penulis dan pendokumentasi buku jurnal Musik Jakarta. Yang asik, acara ini dimoderatori oleh Saleh Husein, gitaris WSTCC/The Adams. Meski dia datang telat karena ketiduran dan memang dia penyebab acara diskusi terlambat dimulai.

Acara ini dibuka dengan video singkat Felix Dass dan John Navid yang memberi "statement" secara ringkas mengenai latar belakang dan motivasi pembuatan dokumentasi musik dalam jurnal buku yang berisi wawancara individu yang berada dalam ekosistem industri musik Jakarta. Ide ini terinspirasi dari Record Magazine, sebuah buku jurnal musik asal Amerika Serikat yang terbit setahun dua kali. Format buku dipilih oleh Felix Dass sebagai caranya untuk mendokumentasikan musik jakarta sebab baginya, buku merupakan benda yang bisa dinikmati secara pelan-pelan, bisa menjadi teman saat khusyuk di toilet. Haha! Apa iya? Sekarang orang ke toilet bawanya handphone? Begitu kelakar Saleh Husein selaku moderator. Akan tetapi, Ale (sapaan akrab Saleh Husein) menyampaikan apresiasinya terhadap dokumentasi musik dalam format buku, ditengah banyak ragam tawaran pendokumentasian dalam format digital seperti podcast dan youtube. Buku Jurnal Musik Jakarta pantas ditaro di mobil, untuk dibaca teman-teman lo! Asik! Begitu kata Ale.

Dalam setiap proses wawancara, Felix Dass harus selalu ditemani oleh John Navid sebagai pendokumentasi foto narasumber. John Navid yang tidak lain merupakan drummer dari WSTCC mencoba mengekspolarsi diri tiap-tiap narasumber melalui dokumentasi foto yang tercetak dalam format 4-colored risograph di buku ini. Tiap individu unik! Begitu kata John Navid

Kolaborasi Felix Dass dan John Navid menghasilkan Jurnal Musik Jakarta edisi perdana yang di dalamnya menampilkan uraian wawancara delapan individu penggiat musik. Mulai dari co-founder label rekaman, pendiri ruang komersil unik untuk menikmati musik, pengusaha piringan hitam, jurnalis musik, ilustrator visual art, DJ (Disc Jokey), hingga rapper perempuan yang tumbuh dalam ekosistem bermusik di Jakarta. Pada terbitan perdana ini, hanya bisa delapan narasumber yang diwawancarai. Kondisi ini terkait "deadline" dari penerbit, begitu kata Felix Dass.




Hingar bingar pertunjukan musik sering kali memusatkan perhatian pada para penampil yang tampak karena terlihat di depan panggung. Padahal, pertunjukan musik tidak bisa dilepaskan dari ekosistem yang siklusnya dapat berjalan atas peran beragam individu-individu (yang banyak juga tak tampak di depan panggung). Untuk itu, bagi Felix Dass, "individu belakang panggung" yang terlibat dalam industri musik menjadi penting untuk didokumentasikan kisahnya. Maka, dibuatlah buku jurnal musik ini.

Ketika membaca edisi perdana Jurnal Musik Jakarta, saya serasa diajak mengenali secara personal delapan sosok individu dalam skena musik Jakarta. Delapan orang ini dipilih sebab dianggap memiliki karya yang dapat mewakili industri musik independen pada masa kini. Kedelapan orang tersebut ialah Kukuh Rizal Arifianto (Sun Eater), Shunsuke Izuminoto (Mondo The Rooftrop), Samson Pho (Laidbackblues Records), Adinda Simandjuntak (Aksara Kemang), Kendra Ahimsa (Illustrator), Merdi Leonardo (DJ), dan Ramengvrl (Rapper).

Apa yang mereka lakukan, baik langsung maupun tidak langsung, membuat siklus industri musik Jakarta dapat terus bergerak dan bertransformasi. Meski digempur kanal musik digital, tak disangka ada Samson Pho, masih dapat meraup untung dari usahanya menjual piringan hitam. Ada juga Merdi Leonardo yang menemukan pasar penikmat tembang lawas Indonesia dalam kultur musik disko.

Format bisnis bisa berubah sesuai zaman, tapi ide, tujuan dan visi harus dipertahankan. Hal ini yang membuat terciptanya ruang-ruang unik menikmati musik seperti Mondo The Rooftrop dan Aksara Kemang. "Value sharing" yang melibatkan penggiat seni dan usaha dalam membangun usahanya yang masih dalam skala kecil dipertahankan oleh Adinda Simandjuntak dalam membangun Aksara Kemang.

Diantara delapan narasumber yang diulas, saya selalu kagum dengan sosok seperti Kendra Ahimsa, seorang ilustrator yang mengutamakan kejujuran dalam berkarya. Dirinya tak segan-segan menolak pengerjaan ilustrasi "band" apabila musiknya tak ia suka.

Sayangnya, produksi "gimmick" yang membersamai penciptaan seni musik itu sendiri tidak terdokumentasi dalam buku jurnal ini. Padahal justru kegelisahan atas "gimmick-gimmick musik indie" yang menggerakan saya untuk datang ke diskusi dan membeli buku jurnal musik Jakarta. Sebagaimana yang telah saya utarakan di awal tulisan ini. Oleh sebab itu, saya juga belum bisa memberikan jawaban apakah "gimmick-gimmick indiesh*t" bisa menjadi bonus atau petaka demografi. Duh! Jadi apa peluang dan tantangan "gimmick" ? Apa ga sebaiknya kita buat diskusi lebih serius soal "Apa dan Mengapa Gimmick?"

Saya membeli paket buku jurnal musik yang bundle dengan mixtape. Felix Dass sudah menjelaskan dalam tulisan dibalik cover mixtape bahwa bundle mixtape dibuat karena terinspirasi dari apa yang pernah dilakukan oleh Ripple Magazine. Namun, apakah penjualan jurnal dengan bundle mixtape juga merupakan bagian dari "gimmick-gimmick indiesh*t"? Meski bisa juga didengarkan dalam kanal spotify, saya beli juga bundle paket ini. Ah! Indiesh*t



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibu RT Dua Negara

Ini dia pengalaman pertama saya ke luar negeri. Tanpa paspor ataupun tiket pesawat terbang. Begitu mudahnya untuk keluar dari perbatasan Indonesia di Desa Ajikuning. Hanya tinggal melewati patok 3 yang tingginya mungkin hanya satu sentimeter. Saya pun sampai di Malaysia. Tapi, ko gak ada bedanya? Sebab, disebrang yang tinggal itu juga orang Indonesia. Berikut jurnal perjalanan saya pada hari Selasa, 19 Juni 2012.... Perjalanan mengunjungi Ibu RT 2 Negara ..   Ketua RT 02, Desa Ajikuning, Sebatik Tengah bernama Hana. Ia merupakan seorang perempuan perantauan yang bersal dari Sulawesi . Tepatnya daerah pinrang. Suami Ibu Hana juga berasal dari Sulawesi yakni bone. Sebelum sampai tempat ini, ia pernah merantau di Malaysia, tepatnya di Tawau selama 13 tahun. Ia memilih untuk pergi merantau sebab melihat orang-orang yang pergi merantau semuanya berhasil. “ Mereka pulang berjaya semua. Banyak barang yang dibawa. Begitulah merantau. Ya begini kerjanya. Habis dikampung tidak ada k

Genosida Ras Yahudi di Polandia: Resensi Film The Pianist dan Schindler’s List

Genosida membawa aspek-aspek modernitas dalam alur pelaksanaannya. Genosida pada ras yahudi sendiri merupakan titik puncak kebijakan Nazi dibawah pemerintahan Hitler. Hitler menganggap bahwa Yahudi bukan merupakan agama. Tapi ia adalah ras. Ia menganggap bahwa ras Yahudi merupakan ras yang berbahaya dimana pun ia berada. Mereka adalah pembawa penyakit. Mereka merupakan ras yang harus dimusnahkan. Munculah kebijakan anti-Yahudi, pemboikotan, aryanisasi, serta gerakan lainya yang pada akhirnya mengarah pada pemusnahan ras yahudi. Dalam buku yang berjudul Hitler’s War yang ditulis oleh David Irving, Hitler mengatakan bahwa “ras Yahudi terlahir sebagai penghancur, sama sekali bukan pemimpin; mereka tak memiliki budaya, seni, juga arsitektur sendiri sedangkan ekspresi yang paling diakui dalam masyarakat adalah budaya.Ras Yahudi tidak memiliki budaya apapun. Mereka hanya mesin hitung. Itu yang menjelaskan mengapa hanya orang Yahudi yang bisa menciptakan Marxisme, yang meniadakan dan meng

Paradigma Simbolik Turner, Liminalitas, dan Menjadi Manusia Radikal Bebas

Liminalitas adalah ruang paradoks, frasa tersebut saya pilih untuk menggambarkan secara singkat apa yang saya pahami ketika membaca "Ritual Proses" dari Victor Turner (1987). Berbeda dari Clifford Geertz yang memposisikan simbol sebagai “wahana pemaknaan” atas “ worldview ” yang dianut oleh komunitas. Turner lebih memberlakukan simbolisme pada tataran proses sosial, yaitu bagaimana konflik dan ambiguitas bekerja dalam satu fase daur kehidupan yang harus dilalui kolektif budaya. Kehidupan dijalani oleh seluruh kolektif dalam tatanan struktur, anti struktur dan kembali lagi pada tatanan struktur budaya. Konsekuensi atas struktur budaya adalah terciptanya hirarki kelas. Masyarakat memiliki struktur yang dapat terbaca melalui simbolisme ritual. Untuk itu, Turner (1987) dalam bukunya, “ The Ritual Process: Structure and Anti-Structure ”, mengurai makna simbolis pada ritual masyarakat Ndembu di Afrika Tengah ketika mengalami kondisi ambiguitas keadaan yang tidak dapat diselesaikan